I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 17
Selfish Sweet
Selfish ni madowasete misete
amai mono ga suki nandeshou?
kimi no shiawase wo hito saji dake
kanjitatte warukunai yone
Selfish ni koikogaresasete
amai mono ga suki dattano
ama kami no aji wasurerarenai mama
setsunai kuchibiru miesuita wana
Kudengarkan
lagu berjudul Selfish Sweet karya
OSTER project lewat hpku. Aku begitu menyukai irama piano, gitar, dan terompet
seraya membangun lagu bergenre jazz. Suara vokalisnya juga begitu cocok dan
lembut didengar. Mendengar lagu ini seperti saat aku mendengar lagu-lagu jazz yang sering ayah putar di mobil
waktu dalam perjalanan.
Kami
menunggu sambil berdiri di depan pintu masuk bioskop, menunggu jawaban dari
Vera apakah akan jadi triple date,
sebenarnya double date, atau tidak.
Semoga saja, kalau jadi, Nabila alias gadis brengsek tidak bisa datang karena
alasan apapun, apapun. Atau begini saja, semoga triple date-nya tidak jadi sekalian.
Kutatap
jam di layar hp menunjukkan pukul empat sore. Tidak terasa, kami menghabiskan
begitu banyak waktu hanya dengan bermain di game
center dan menonton Thor: Ragnarok di
bioskop. Kami bahkan melewati waktu yang seharusnya kami habiskan di sekolah.
Biasanya, sore ini, aku memang masih berada di game center.
Oh,
kalau menunggu, pasti suka banget sama yang namanya berdiri, baik itu menunggu apapun apalagi orang lain. Kami tidak
melangkah, hanya menunggu sebuah jawaban.
Sial,
kenapa aku jadi teringat sama Nabila alias gadis brengsek saat aku mendengarkan
lagu Selfish Sweet berkali-kali, baik
itu di kamar, di sekolah, atau di mall sekalipun. Nabila memang selfish, tetapi dia bukan sweet, melainkan rotten and disgusting.
Siapa
juga yang ingin berpacaran dengan gadis brengsek seperti dia? Siapa? Bukan
diriku tentunya. Kalau aku tidak ingin berpacaran dengannya, kenapa dia terus
yang selalu kupikirkan? Kenapa? Padahal aku benar-benar membencinya.
Aku
mendapat notifikasi pesan masuk, sialnya, dari ibuku. Kadang-kadang, kalau aku
pulang sore atau malam banget, ibuku sering nanya lewat SMS, kok belum pulang?. Aku tidak ingin tidak
mejawab SMS itu, karena demi menjaga privasi. Orangtuaku tidak perlu tahu apa
anaknya sedang lakukan, benar-benar tidak perlu tahu.
Sialnya,
aku mabal seharian penuh, cuma gara-gara enggak pengen bertemu dengan ledakan
kemarahan guru fisika kami akibat skip pelajaran
tambahan kemarin. Lebih buruknya, atau entah ini menjadi lebih baik, seluruh
teman sekelas kami mabal, kompak mabal. Tidak ingin menjadi korban letusan
kemarahan beliau, semuanya rela bolos sekolah.
Aku
tidak tahu aku harus jawab apa pada ibuku, apalagi saat aku bolos kayak gini.
Aku juga sudah tidak memakai seragam sekolah. Ya … mereka tidak perlu tahu
kalau aku benaran bolos sekolah, bukannya belajar di sekolah seperti biasa.
“Oh,
Vera udah mau otw katanya,” ucap Oktavian. “Katanya bareng Nabila sama Fatin.”
Waduh.
Nabila jadi ikutan triple date.
Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan gadis brengsek itu. Apalagi, dia berani
berpura-pura pacaran. Aku juga mau tidak mau harus berakting meyakinkan yang
lain kalau aku benaran pacaran sama dia.
Beruntung,
waktu itu aku memberitahu Oktavian kalau dia memang sengaja pengen pura-pura
pacaran. Dia juga mengerti kalau aku sebenarnya tidak setuju dengan tindakan
gadis brengsek itu sama sekali.
Sekarang,
aku akan hadapi kembali gadis brengsek itu. Aku ingin lihat seberapa lama kamu
akan terus berpura-pura menjadikanku sebagai seorang kekasih.
“Woi,
Arfian, ayo!” ajak Oktavian membuyarkan pikiranku.
“Eh?
Iya,” jawabku.
***
Lagi-lagi
aku harus membuang uangku, setelah makan McMuffin di McDonald’s, terus beli
saldo di game center, terus nonton Thor: Ragnarok sambil ditemani paket popcorn dan minuman di bioskop. Kali
ini, kami akan melakukan triple date di
sebuah kafe yang menjadi tempat hang out anak
muda.
Kulihat
sekeliling, seluruh meja di kafe itu mulai penuh dengan pengunjung, boleh itu
hanya sendirian, rame-rame bareng anak sekolahan, anak kuliahan, teman-teman
kerja, atau yang paling mainstream adalah
… pasangan yang berpacaran. Ya, ini paling mainstream.
Biasanya, orang pacaran lebih suka makan di sebuah kafe sekaligus kencan, untuk
lebih mengenal satu sama lain.
Kami
telah duduk di atas sofa menghadap meja, setidaknya cukup dekat dengan jendela
dan counter display kue-kue. Dinding
pun terhias dengan beberapa papan quotes kekinian
seraya meningkatkan motivasi serta beberapa gambar makanan yang membantu
menggiurkan selera makan.
Ini dia,
pintu terbuka seraya membunyikan bel masuk. Tiga orang gadis yang tidak asing,
Vera, Fatin, dan Nabila, ya, Nabila, gadis brengsek itu, telah tiba dan menatap
kami sambil melambaikan tangan seraya mengucapkan salam.
“Hei!
Datang juga!” seru Abi ketika ketiga gadis itu menemui kami.
“Habisnya,
Oktavian nanya-nanya melulu sih,” ucap Vera.
Oktavian
membantah, “Enggak juga lah.”
“Eh,
udah pada pesan belum?” Fatin memperhatikan buku menu di hadapan kami bertiga,
tiga cowok bujangan.
“Belum
nih,” jawab Abi.
“Mau
lihat dong menunya!” pinta Fatin lagi.
Aku
terdiam ketika menatap Nabila alias gadis brengsek. Si selfish rubbish telah berada di hadapanku, kesenanganku seketika
berevolusi menjadi sebuah keluhan. Kenapa diriku harus berhadapan dengan gadis
brengsek seperti dia sekali lagi? Gadis brengsek yang ingin berpura-pura
pacarana denganku? Agar dia bisa lebih puas untuk menghina diriku sekaligus
menuduh sebagai tukang RCT.
Apa aku
juga harus menatap manis manja pada Nabila? Tentu tidak? Tahu kenapa? Nabila
sengaja berakting melihatku manis manja di depan semua orang, di depan
semuanya, terutama di depan teman dekatnya sekaligus teman dekatku. Masa mau
pura-pura pacaran kalau niatnya hanya ingin menghabisiku secara lisan? Sungguh
keterlaluan, kan?
“Aku
pengen … yang ini deh,” Fatin menunjuk salah satu makanan termahal di menu.
Kubuka
menu dan kulihat semuanya. Whoa, halaman buku menu kafe ini sungguh banyak,
pilihan makanan dan minumannya juga begitu banyak. Sayang sekali tidak ada
gambar makanan yang dapat membuat kami tidak sabar menunggu. Sungguh sayang,
sayang sekali. Aku harus memilih makanan yang kuinginkan sambil memutarbalikkan
setiap halaman buku menu.
“Lo
pengen tenderloin steak?” tanya Vera. “Mahal lho.”
“Ya,
udah lama sih enggak makan steak,” jawab Fatin.
“Lo mau
apa, Arfian? Kok lama banget ngelihat menunya?” Oktavian, dia mengeluh padaku.
“Habisnya
menunya banyak banget,” ucapku.
“Tapi
enggak sebanyak rasa sayang gue pada lo, kan, sayang?” Lebih buruk lagi, Nabila
mulai berpura-pura menganggapku sebagai pacar, di depan semuanya.
Bagus,
Nabila, tingkahmu mulai. Boleh saja, tapi aku tidak akan termakan godaanmu. Aku
tidak sudi berpura-pura pacaran denganmu, apalagi kalau benaran. Tapi, aku juga
harus memikirkan yang lain. Bagaimana membongkar kalau ini semua hanya
pura-pura? Bagaimana pula agar aku dapat menjauh dari gadis brengsek itu.
“Aku
pengen beef wellington,” ucap Nabila.
“Eh! Beef wellington? Itu mahal lho!” tegur
Vera.
“Enggak
apa lah, yang penting lagi banyak duit lah.”
“Ya
udah, gue spaghetti Bolognese aja deh, lebih hemat. Yang lainnya pada mau apa?”
tanya Vera.
“Chicken
Cordon Bleu deh,” ucap Abi.
Aku juga
sudah menentukan pesananku, setidaknya aku bukan yang terakhir. “Salmon
Mentaiyaki aja deh. Yang penting hemat sama puas makannya.”
“Hah?”
ucap Oktavian sambil melihat layar hpnya.
“Apa?
Kenapa?” tanya Abi.
“Cek
grup deh! Ada yang ketahuan mabal sama guru.”
“Hah?
Siapa?”
Tidak
mungkin. Salah satu teman sekelas kami ketahuan mabal? Sialan, mungkin saja ada
guru yang keluar sekolah terus ketemu sama murid-muridnya yang mabal di suatu
tempat, boleh jadi sedang merokok, minum-minum, sama main-main di mall.
“Katanya
ketahuan di mana?” tanya Abi.
“Eh?
Jadi lo pada mabal tadi?” tanya Fatin. “Pantasan tadi enggak ngelihat lo.
Biasanya lo, Oktavian sama Abi, sering di kantin ketemuan sama kita.”
“Kenapa
pada mabal sih?” Vera juga ikut penasaran.
“Ih …
pantas aja sayangku dicariin enggak ada, ikut-ikutan mabal. Padahal udah nunggu
dari jam istirahat.” Nabila kembali berakting sambil memegang tanganku.
“Soalnya,
pada enggak mau dapat pelajaran tambahan,” Oktavian menceritakan, “Kan banyak
dari anak-anak kelas pada dapat nilai jelek, terus sama Bapaknya disuruh ikut
pelajaran tambahan dari kemarin. Ya udah, pada enggak mau, jadinya pada skip kemarin. Terus Bapaknya malah
marah-marah enggak jelas lah, pengen ngomong juga sama anak-anak hari ini pas
pelajaran fisika.
“Terus,
ya udah, pada bolos semua. Sebenernya enggak juga sih awalnya. Akhirnya yang mau
masuk tadi pagi pada nyusul lah, pada mabal semua. Ya, enggak tahu juga gimana
pada nerobos satpam di gerbang depan. Ya udah, pada bolos weh.”
“Kok
gitu sih si Bapaknya?” ungkap Vera. “Padahal guru fisika kelas gue juga enggak
gitu-gitu amat.”
“Udah
pada mau pesan?” Seorang pelayan berseragam coklat mendatangi kami.
“Oh
udah,” ucap Nabila.
Kami pun
mengungkapkan menu makanan dan minuman yang ingin kami pesan. Pelayan itu
mencatat setiap menu di sebuah nota. Begitu kami selesai, dia mengulangi
pesanan kami untuk memastikannya.
Begitu
pelayan itu berlalu setelah menempelkan lembar merah nota pesanan kami sebagai
bukti, kami kembali ke topik utama, mabal malah ketahuan guru. Jujur, hal ini
sungguh merinding, apakah aku memang harus masuk sekolah besok?
“Ngeri
deh,” ucap Fatin. “Enggak nyangka bakal kayak gitu.”
“Sama
juga, enggak nyangka,” ulang Vera. “Udah deh, mending lo pada masuk besok sama
minta maaf sama Bapaknya.”
“Ya,
hadapin aja kalau ada masalah. Jangan pada kabur.”
Abi
menjawab, “Ya, Bapaknya juga salah juga sih. Kalau ngajar, Bapak malah
jelasinnya bikin enggak ngerti, terus dikit-dikit ribut malah marah. Kita kan
enggak tahu gimana maunya.”
Aku
masih teralihkan dari topik itu dengan perasaan mengganjal ketika menatap
Nabila duduk tepat di depanku. Kulihat gadis brengsek itu menjentalkan jari dan
mendekatkannya pada dagu, seraya ingin melihatku manis manja. Manis manja, apa
maksudnya? Entah kenapa aku hanya ingin menganggapnya sebagai gadis brengsek
manis manja.
“Udah
deh, sayang. Mending lo pada masuk aja. Terus pas pulang, mending ke rumah gue
aja, main PS. Atau enggak kita ke game
center di mall aja.” Itu nasihatnya.
Aku
enggak mau main PlayStation di rumah gadis brengsek itu, aku juga enggak mau
main ke game center bareng dia sambil
dipermalukan. Aku mending main PlayStation di kamar atau enggak main hp, game hp.
Ah!
Kenapa gadis brengsek seperti dia harus selalu kupikirkan di otakku! Padahal
aku sama sekali tidak suka, apalagi punya perasaan. Anggap saja dia adalah selfish sweet, eh bukan, selfish disgusting.
Besok, apapun
bisa terjadi.
Comments
Post a Comment