I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 12

Recursive function

Lagi-lagi aku berada di rental PS bersama kedua sahabatku yang bodoh ini. Kalau saja aku bilang aku ingin main PS di rumah, aku tidak perlu repot-repot menyaksikan mereka bermain Pro Evolution Soccer.
Setahuku, beberapa dari pemain Pro Evolution Soccer sering menjerit-jerit seakan-akan sedang menonton pertandingan sepak bola sungguhan, baik di TV atau secara langsung. Kalau terjadi gol, yaitu bola masuk ke gawang lawan, pasti mereka akan berteriak, itu pun sama ketika ketika bola tidak masuk gawang meski dengan tembakan sekuat apapun.
Ini dia, aku hanya duduk di sofa merah menyaksikan Abi dan Oktavian sedang mengenggam stik PS atau disebut juga DualShock kalau secara resmi dari Sony-nya sambil menekan tombol seraya mengontrol setiap pemain tim yang mereka kendalikan masing-masing. Ya, seperti ini kalau menyaksikan teman-teman bermain Pro Evolution Soccer, berisik.
Lebih buruknya lagi, gadis brengsek alias Nabila tepat duduk di sebelahku, hanya menyaksikan sambil menjerit. Beruntung, gadis brengsek itu mengabaikanku. Tatapannya terfokus pada layar LCD TV yang terhubung dengan PlayStation 4.
Aku tidak tahu apa yang sedang gadis brengsek itu pikirkan ketika ingin berbicara denganku saat ini. Dia sama seperti kedua sahabatku yang bodoh, benar-benar bodoh. Dia ikut menjerit-jerit ketika akan terjadi gol atau tidak.
Sungguh, dia bukan gadis stereotipikal pada umumnya. Biasanya, gadis-gadis seperti yang suka pamer wajah dan pacar di media sosial sering shopping di mall, apapun, mulai dari make up, peralatan mandi, makanan diet, hingga parfum sewangi-wanginya. Mereka juga sering hang out bareng, misalnya makan siang bareng, malam mingguan ala ladies’ night, dan juga bergosip tentang idola mereka. Oke, itu berdasarkan stereotip yang sering ditampilkan media.
Tampaknya, Nabila alias gadis brengsek bukan gadis yang stereotipikal, kalau dia main ke mall, paling dia ke game center. Seenggaknya, waktu itu kulihat dia bermain Pump It Up bersama teman-temannya, sebelum dia mulai berurusan buruk denganku.
Entah kenapa, sekarang dia malah pengen ke rental PS, apakah dia enggak bakal main? Kalau dia main, aku bisa berharap dia kalah telak dari Abi atau Oktavian dalam pertandingan persahabatan Pro Evolution Soccer.
Aku benar-benar ingin menghindar dari gadis brengsek itu, sungguh. Tapi, di saat yang sama, aku juga harus berlindung dari kejaran pelajaran tambahan fisika di sekolah. Aku juga biasanya pulang ketika matahari mencapai bawah langit sebelum posisinya tergantikan oleh bulan yang menyinari nikmatnya malam hari. Terpaksa diriku harus menemani ketiga orang merepotkan ini.
Daripada terus kesal, aku mengambil earphone dari saku celana dan memasangkannya pada hp. Aku ingin mendengarkan musik demi menenangkan diri dari gangguan ketiga orang merepotkan ini, terutama gadis brengsek, ya, gadis brengsek.
Kubuka aplikasi Google Chrome terlebih dahulu untuk mencari situs wiki BEMANI berbahasa Inggris, remywiki. Aku tahu aku ingin mendengarkan apa, tapi sayangnya judul lagu tersebut berbahasa Jepang. Aku begitu suka lagu itu saat pertama kali memainkannya di Sound Voltex.
Seingatku, komposer lagu itu adalah OSTER project, seorang komposer yang tidak kusangka adalah seorang wanita, biasanya beberapa komposer musik di rhythm game adalah pria. Mungkin aku terlalu menanggapnya stereotipikal, tetapi lagu dari komposer wanita juga tidak kalah beken.
Begitu kucari kata kunci “oster project” di search bar di wiki itu, laman tentang dirinya langsung muncul. Kulihat biodata, profil, trivia, daftar alias, dan daftar lagu yang diciptakannya. Kulihat kebanyakan judul lagunya memang berbahasa Jepang.
Mau tidak mau, kubuka setiap informasi beberapa lagu yang judulnya memang ditulis dengan katakana satu per satu. Aku kehilangan kesabaran begitu aku memasuki laman informasi lagu yang tidak sesuai keinginan.
“Mau main juga dong!” seru gadis brengsek pada Oktavian yang memenangkan pertandingan itu.
“Eh? Yakin bisa nih?” ucap Oktavian.
“Enggak apa-apa kalau langsung kalah?” tanya Abi.
“Enggak apa-apa kok! Main lah!” jawab gadis brengsek seraya mengambil stik PS yang sedang Abi genggam.
“Oke, pilih tim dulu, terus stadionnya—” pandu Oktavian.
“Enggak usah, Gua bisa kok,” ucap gadis brengsek begitu game menunjukkan panduan select your team. “Gue pilih Jepang ya!”
Kupandangi layar LCD TV sekali lagi. Mungkin kesalahan bodoh kalau memilih tim Jepang bagi gadis brengsek itu, apalagi kalau Oktavian tetap memilih tim Jerman. Aku ingin melihat bagaimana gadis brengsek itu kalah berhadapan player pro seperti Oktavian.
Aku kembali terfokus pada hp, akhirnya kutemukan judul yang sesuai dengan cover art waktu di Sound Voltex. Untung ingat kayak gimana cover art-nya. Aku meng-copy paste judul lagu yang ditulis katakana itu, “リカーシブ・ファンクション” atau dalam bahasa Inggrisnya Recursive function, pada search bar YouTube.
Kubuka pilihan video teratas dari hasil pencarian tersebut, hanya musik dengan gambar cover art-nya. Kulihat juga ternyata lagu itu pertama kali muncul di Reflec Beat sebelum masuk ke song list Sound Voltex.
Begitu lagu dimulai, kudengar suara alunan piano yang kurang lebih mendekati jazz tetapi dengan tempo cepat. Suara drum turut membantu tempo cepat yang dapat membuat musik ini lebih enak didengar.
Suara gitar rock turut mengiringi alunan jazz dan progressive seraya menggantikan posisi alunan piano sejenak ikut membuatku semangat lagi. Sungguh, ini salah satu lagu terbaik yang pernah kudengar, meski tanpa vokal, hanya ada alunan piano dan gitar serta hentaman drum.
Aku sampai tidak peduli lagi apa aku sedang berada di dalam rental PS, aku seperti tersesat di alunan lagu Recursive function ciptaan OSTER project, begitu enak didengar seperti sedang mendengar sebuah lagu jazz, bedanya ditambah progressive rock yang menambah tempo lagu lebih cepat dan menyedapkan setiap nada.
Aku sampai ingin mendengarkan lagu itu berkali-kali. Aku menekan tombol replay setiap lagu selesai, aku tidak ingin lolos dari kenikmatan lagu ini! Aku tidak ingin sampai memecahkan betapa rumit lagu ini seperti sedang mengerjakan soal ilmu komputer atau matematika, baik saat ujian atau dalam pelajaran.
Entah berapa menit yang telah kuhabiskan hanya demi mendengar lagu ini berkali-kali, aku tidak peduli. Aku hanya ingin fokus dengan alunan ini sambil menunggu jam sewa ruangan rental PS kami usai. Lebih baik aku tersesat di dalam alunan lagu ini daripada kembali ke dunia nyata hanya untuk bermain Pro Evolution Soccer lagi seperti kemarin.
Kualihkan pandanganku kembali pada layar LCD TV. Sial! Aku benar-benar tidak pernah menyangka ini, sangat tidak menyangka! Aku seperti dikejutkan oleh setrum listrik.
Kulihat waktu bermain menandakan LOSS TIME, berarti pertandingan akan segera berakhir. Yang paling mengagetkan adalah papan skornya, papan skornya! Tidak kusangka akan menjadi seperti ini.
Tepat, ternyata tim Jepang yang gadis brengsek kendalikan telah mencetak lima gol, lima gol! Kulihat Oktavian yang mengendalikan tim Jerman hanya mampu mencetak satu gol. Ada apa ini? Apa aku benar-benar sedang bermimpi?
Begitu pertandingan berakhir, Abi melongo ketika menyaksikan adegan seluruh pemain tim Jepang mengangkat kedua tangan merayakan kemenangan lewat layar LCD TV. Sepertinya Abi juga tidak kalah kaget dengan diriku dan Oktavian.
“Alah, masa lo kalah sama ini cewek sih, Oktavian?” tanya Abi.
“Gue juga enggak tahu,” Oktavian melongo. “Biasanya kan cewek enggak main ginian, kan?”
“Ya mana gue tahu! Kan jarang ada cewek yang sering ke rental PS kayak gini!”
Oktavian bertanya pada gadis brengsek itu, “Oh ya, Nabila, lo sering main ginian ya?”
“Emang.” Gadis brengsek itu mengulum senyuman, sesuatu yang aku tidak suka. “Aku sering kok main PS, enggak cuma PES, tapi game-game lain.”
Sering main PS katanya? Sialan, ternyata gadis brengsek itu enggak cuma jago ngomong, enggak juga jago ngajak hang out teman-temannya, enggak juga berpura-pura sambil berakting, ternyata dia juga jago main PlayStation.
Ini gadis ternyata jago main game, mau PlayStation, mau arcade, pokoknya dia jago. Sialan, kesebalanku semakin meledak seperti bom atom. Apa lagi sekarang, gadis brengsek? Apa dia ingin melanjutkan mainnya?
“Gue menang!” jerit gadis brengsek itu sambil memukul langit dengan kedua tangan.
“Arfian, pacar lo ternyata jago main PES …. Pantas aja gue kalah 5-1,” ucap Oktavian begitu aku melepaskan earphone.
“Lo enggak bilang sih! Ternyata lo sama pacar lo sama-sama suka main game,” tanggap Abi.
“Emang. Kan udah gue bilang pas pertama kali ketemu, ya, gue juga suka main game di game center di mall,” jawab gadis brengsek itu.
“Oke, deh. Gue coba main lawan lu!” seru Abi merebut stik PS dari genggaman Oktavian.
Gadis brengsek itu mengangkat tangannya. “Eit. Enggak rame dong kalau belum semuanya yang main.” Dia berbalik menatapku, ini dia.
Tatapan gadis brengsek itu melelehkan topeng kepolosannya. Dia menyipitkan kedua matanya padaku, apa lagi? Aku tidak ingin main Pro Evolution Soccer, apalagi dengan gadis brengsek seperti dia.
“Lo … main deh.” Itu perintahnya.
“Hah?” Aku melongo.
“Iya! Lo kemarin ke sini enggak main sih!” Oktavian sama sekali tidak membantu. “Lo kerjanya cuma nonton. Kalau enggak nonton, main hp lah, dengerin musik.”
“Tah, sayang banget kalau enggak jadi main kerjaannya, kalau ke sini,” ucap gadis brengsek itu.
Aku menolak, “Gue enggak mau main—”
“Harus mau lah!” tolak gadis brengsek itu. “Sayang udah bayar buat empat orang terus lo enggak mau main sama sekali!”
“Woi, gue—”
“Abi! Kasih stik PSnya!” seru gadis brengsek itu. “Lo juga pengen lihat pacar gue main PES, kan?”
“Iya.” Abi menyerahkan stik PS yang dia genggam padaku. “Lo main deh. Daripada pacar lo nangis bombay lah. Masa enggak mau main pacar lo sendiri. Padahal dia pengen spend quality time bareng lo.”
“Ah, sini!” Aku mengambil stik PS itu. “Oke, gue siap.”
“Gue bakal tetap pilih tim Jepang.” Gadis brengsek itu tetap memilih tim yang sama.
Aku memutuskan untuk memilih tim Inggris dalam pertandingan paksa kali ini. Jujur, aku tidak tahu bagaimana cara untuk membuat setiap pemainnya menendang, men-sliding, dan melompat. Aku hanya terfokus pada keempat tombol di kanan stik PS, segitiga, lingkaran, silang, dan bujursangkar.
Tim Jepang yang gadis brengsek kendalikan memulai kick off terlebih dulu. Sialan, dia lincah sekali bermainnya. Aku bahkan tidak sanggup menghentikannya, sama sekali. Aku benar-benar asal-asalan menekan setiap tombol untuk menghentikannya.
Gadis brengsek itu akhirnya menekan tombol dengan keras begitu tiba di hadapan gawang timku. Sialnya, dia mencetak gol duluan, secepat ini, padahal kami baru saja mulai.
“GOOOOOOOL!!” sahut Abi dan Oktavian.
“Ah! Lo payah ah!” seru Oktavian padaku. “Kok kalah sama cewek secepat ini sih?”
“Diam, gue sebenarnya enggak mau main!” ucapku.
“Tapi seenggaknya kita main bareng, kan, sayang? Ayo giliran lo buat kick off, sayang,” balas gadis brengsek itu.

“Iya deh! Giliran gue yang kick off!” seruku.

Comments

Popular Posts