I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 1
Bad Apple!!
Ah, aku
benci siksaan yang terjadi setiap hari.
Lelah
banget aku sama setiap pelajaran di sekolah. Masa kita, anak muda, kayak gini
harus nyerap semua pelajaran. Ya kita enggak mungkin nerapin semuanya di dunia
nyata, masa depan lah. Ini sekolah buat apa nyiksa siswa-siswanya dengan
pelajaran yang enggak bakal guna di masa depan gini?
Rumus-rumus
yang benar-benar rumit aku harus baca sampai habis, kucatat di buku catatan,
tetap aja kagak ngerti gimana cara nyerapinnya. Aku ngerjain soal aja bingung,
enggak ngerti.
Ah, aku
hanya ingin pelajaran ini benar-benar berakhir. Besok juga akan sama saja, tiap
hari kita ke sekolah cuma buat dapat siksaan kebingungan menyerap setiap materi
menuju otak. Sebal banget kalau kita harus belajar bersungguh-sungguh sampai
otak kita semacam lelah begitu.
Kudengar
bel sekolah menggetarkan speaker kelas
yang terpasang di atas papan tulis sebanyak tiga kali, pertanda jam-jam siksaan
di sekolah telah selesai. Kubisa melihat ke belakang mayoritas dari teman
sekelasku memasang wajah berseri-seri menanti siksaan seluruh materi pelajaran
berakhir.
Akhirnya,
guru fisika di depan kami bisa ….
“Besok
saya adakan quiz, pastikan kalian
menghafal rumus ini dengan sebaik-baiknya!” Guru botak berkacamata itu
mengumumkan.
“Ah …,”
mayoritas siswa mengeluh dengan pengumuman itu.
Apa?
Besok pelajaran beliau quiz? Sialan
…. Mana mau mayoritas dari kita baru dapat rumus yang complicated gini terus kita dapat quiz. Ya udah, deh, daripada jadi beban, mending baca-baca rumus
yang telah kucatat.
Seenggaknya,
guru fisika di depan kami bisa ….
“Kalau
kalian dapat nilai di bawah KKM, kalian wajib dapat pelajaran tambahan dari
saya sampai sore.”
Kalimat
guru seketika membuat seisi kelas hampa tanpa suara, aku yakin mereka menambah
tekanan untuk membaca ulang rumus yang telah beliau berikan, entah itu nanti
malam atau esok pagi. Sialnya, pasti belajar rumus itu kembali esok pagi,
begitu juga dengan diriku.
“Selamat
siang,” sapa guru itu.
Akhirnya
…, seenggaknya, guru fisika di depan kami bisa melangkah keluar melalui pintu
kelas, seraya mengangkat beban seisi ruangan kelas. Itu sisi positifnya sehabis
beliau keluar dari kelas, enggak ada yang lebih parah daripada beliau.
Tapi …
di balik sisi positif seperti ini, ada sisi negatif. Seperti biasa, kebisingan
dari mayoritas teman sekelasku baru saja dimulai. Seperti biasa, aku hanya
menganggap ini sebagai hal random.
Bahkan
aku yang duduk di barisan belakang bisa melihat kalau ada cewek sengaja
bergosip-gosip dengan teman-temannya, entahlah, apakah mereka membicarakan
tren-tren fashion atau musik K-Pop?
“Arfian,
ikutan futsal gih!” Teman kursi sebelahku sontak membuyarkan pikiranku.
“Apa?”
ucapku pura-pura tidak mendengar.
“Lo
enggak pernah ikut futsal sama sekali. Yang lain pada ikutan, lo ikutan juga
dong!” ajak cowok berambut jabrik atau semacam semi-mohawk, entahlah, padaku. Lebih buruknya, dia malah kasih nasehat
yang bikin aku capek, “Lo tuh kerjaannya main game melulu. Pas istirahat, lo biasa, kalau enggak ke kantin
sendirian, lo pasti main game di hp
lo.”
Aku
benar-benar benci kalimat-kalimat itu. Apa dia berhak menyuruhku untuk cari
kegiatan lain saat beristirahat. Main game
udah dari dulu bagian dari kehidupanku, mau kamu ngelarang atau gimana,
tetap aja gue main terus.
Justru,
aku capek sama materi-materi pelajaran sekolah yang kebanyakan complicated, complicated, itu kata yang bisa kubayang ketika mengingat kembali
materi-materi pelajaran sekolah. Kenapa kita seakan-akan tidak punya waktu
untuk bersantai kalau gurunya nuntut siswanya biar terus belajar.
“Eh.”
Temanku memulai aksi merayu siswi nih. Ini kebiasaan buruk temanku. Pasti dia
akan menggoda cewek-cewek, mau itu teman sekelas atau enggak, dia enggak
peduli.
“Apaan
sih lu, Oktavian!” tegur siswi yang dirayu temanku.
“Lo
entar bakal nonton gue kan beraksi?”
“Sorry, gue mau langsung belajar buat quiz.” Aku tidak tahu apakah siswi itu
tidak bisa kuanggap bohong atau benar.
“Tuh,
Arfian. Lo mending kayak gua, nilai bagus, sering ngomong sama cewek, Pokoknya
ngumpul-ngumpul bareng lah! Enggak kayak lo!”
Ucapan
temanku sendiri bahkan terdengar seperti menyombongkan diri. Entah sengaja atau
bukan, aku juga tersinggung dengan kalimat itu.
Nilai-nilai
pelajaranku pada bagus? Enggak gitu lah. Nilai fisika, kimia, dan matematikaku
justru yang paling bermasalah. Meski aku tahu nilai matematikaku hampir tidak
lolos dari standar, nilai fisika dan kimiaku justru lebih buruk daripada itu.
Seharusnya
aku tak ambil jurusan IPA, melainkan IPS. Aku benar-benar salah masuk jurusan
saat naik kelas 11. Waktu itu nilai pelajaran-pelajaran jurusan IPS bahkan
lebih tinggi daripada pelajaran-pelajaran IPA.
Tentu
saja, alasannya jelas. Aku harus ambil IPA biar peluangku lebih cerah. Lulusan
SMA jurusan IPA justru bisa ambil satu dari semua program studi, baik dasarnya
IPA atau IPS. Stereotip macam apa ini?
Suasana
kelasku mulai rame berkat tari-tarian mengikuti alunan lagu yang tidak aku
suka, ya, benar, tidak aku suka. Lagu mainstream
paling sampah sedunia, Despacito.
Apa
bagusnya lagu itu? Lagu itu populer cuma gara-gara Justin Bieber, kan? Cuma
gara-gara kepopuleran dia, lagu itu jadi sering nongol di chart-chart musik.
Ayolah, lagu yang lebih bagus harusnya lebih populer dan merajai chart musik.
Beberapa
teman sekelasku bernyanyi begitu keras, hingga aku harus mengambil earphone dan ponsel dari saku celana.
Aku sudah tidak tahan dengan lirik lagu yang kabarnya bernilai negatif dan
tidak senonoh itu, apalagi buat teman sekelasku. Aku tidak tahan, sungguh tidak
tahan.
Des-pa-cito
Quiero respirar tu cuello despacito
Deja que te diga cosas al oĂdo
Para que te acuerdes si no estás conmigo
Des-pa-cito
Quiero desnudarte a besos despacito
Firmo en las paredes de tu laberinto
Y hacer de tu cuerpo todo un manuscrito
Jujur
saja, kebanyakan musik mainstream zaman
now itu … meh, enggak sesuai seleraku. Aku lebih senang jika mendengar
musik-musik dari game yang
seenggaknya mengutamakan kreativitas, enggak kayak musik mainstream yang mengincar penggemar dan uang. Memang pantas kalau
musik mainstream zaman now kebanyakan … sampah.
Aku
membuka aplikasi music player di
ponselku dan kuputar salah satu lagu ter-mainstream
di rhythm game, Bad Apple!!. Oh tunggu, Bad Apple!! itu sebenarnya aransemen
dari salah satu lagu di Touhou Project,
salah satu game doujin terpopuler di
Jepang katanya.
Aku
tidak begitu tahu apa itu Touhou Project.
Yang jelas, kebanyakan rhythm game di
Jepang pasti ada beberapa lagu Touhou
Project. Jangan heran kalau ada Bad
Apple!! di salah satu rhythm game dari
Jepang, terutama di game center.
Kuputar
lagu itu dengan volume agak kencang,
untuk menghindarkan telingaku dari nyanyian teman-teman sekelasku yang begitu
keras. Aku sungguh muak dengan Despacito,
sungguh muak.
Begitu Bad Apple!! yang sudah kudengarkan
memasuki bait pertama, kubuka aplikasi Facebook. Sekadar mengecek timeline, itu saja. Aku bukan orang yang
gampang untuk menulis status di
Facebook.
Seenggaknya
liriknya lebih catchy daripada Despacito sialan itu, benar, Despacito sialan. Dalam hati aku
bersenandung mengikuti irama lirik sambil meng-swipe timeline di Facebook, sekadar ingin mengecek bagaimana status teman-teman online-ku.
nagareteku toki no naka de demo
kedarusa ga hora guruguru mawatte
watashi kara hanareru kokoro mo
mienai wa sou shiranai?
jibun kara ugoku koto mo naku
toki no sukima ni nagasare tsuzukete
shiranai wa mawari no koto nado
watashi wa watashi sore dake
yume miteru? nanimo mitenai?
kataru mo muda na jibun no kotoba?
kanashimu nante tsukareru dake yo
nanimo kanjizu sugoseba ii no
tomadou kotoba ataeraretemo
jibun no kokoro tada uwa no sora
moshi watashi kara ugoku no naraba
subete kaeru no nara kuro ni suru
Timeline di Facebook-ku bukan hanya
berisi hal-hal random, hal-hal acak,
tetapi yang paling menyebalkan adalah tulisan curhat sekadar minta simpati
teman-temannya, apapun itu. Yang paling parah adalah minta simpati karena baru
saja berantem dengan sang pacar, berantem dengan sang pacar.
Cinta?
Apakah mereka benar-benar jatuh cinta? Apakah cinta hanya untuk sekadar melukai
satu sama lain? Apakah cinta benar-benar seperti apel busuk di balik apel
bersih, kesakitan dibalik kebahagiaan.
Sebenarnya
bukan aku yang menge-add mayoritas
dari teman online-ku di Facebook,
bodohnya diriku, aku accept request pertemanan
dari mereka tanpa tahu bagaimana identitas sebenarnya. Kenapa aku langsung
mendapat keluhan, kesombongan, dan keserakahan dari mereka?
Kalau
bukan keluhan tentang pertengkaran dengan pacar, pasti link berita yang belum tentu benar mencemari timeline. Paling tidak, banyak yang terpicu dengan link judul berita provokatif, apalagi
membaca isinya.
Aku
sendiri heran dengan warganet alias netizen
di negeri ini, alangkah ironinya. Mereka terpicu dengan isu-isu negatif
yang disajikan dalam berita. Apalagi mereka mudah tersinggung ketika ada yang
menyinggung secara offensive. Aku
benar-benar lelah dengan semua itu. Ya, berserk
button mereka gampang terpencet tanpa sengaja.
Begitu
kututup aplikasi Facebook-ku, aku berdiri mengambil jaket coklat di bawah meja.
Kupakai dengan cepat, ingin cepat-cepat meninggalkan kelas yang telah tercemar
apel busuk seperti Despacito.
Berharap
saja teman sekelasku akan memutar lagu sampah itu berkali-kali, jika perlu tambahkan
tarian asal-asalan dan nyanyian keras, itu akan lebih baik. Nyanyian yang
begitu keras seharusnya bisa mengundang kemarahan guru dan staf yang melewati
kehebohan kelasku.
“Lho?
Mau pulang lagi, Arfian? Hayu ikut futsal aja!” ajak Abi, pemuda berkulit agak
gelap merupakan pelaku di balik pemutaran Despacito
di hpnya.
“Sorry banget, gue … harus pulang lebih
awal,” aku berbohong demi menghindari kegiatan futsal teman-teman sekelasku.
“Ah!
Enggak rame ah! Ayo dong, ikutan!” balas Abi ketika aku mengambil tas dari
bawah meja.
“Iya
nih! Lo enggak ikut melulu!” Sekarang malah giliran Oktavian lagi yang
mengajakku. “Sekali-kali lo ikutan dong! Lo kan cowok, ikutan futsal dong!”
Sebenarnya
perkataan Oktavian menyinggungku, dia menyiratkan kalau seharusnya semua
laki-laki suka olahraga, apapun, termasuk futsal dan sepak bola. Aku tidak suka
dengan olahraga, tidak suka. Aku ini laki-laki, tapi tidak suka olahraga? Apa
ini masuk akal?
Pasti
ada seorang laki-laki yang tidak begitu suka olahraga? Yang tidak
kewanita-wanitaan juga? Ah, dasar … memperkaitkan dengan stereotip, masih saja
sering terjadi.
“Sorry, gue … disuruh pulang cepat.”
Lagi-lagi aku mencari alasan. “Semua, duluan.”
Aku
melambaikan tangan begitu melangkah meninggalkan bangkuku. Semua teman
sekelasku yang masih berada di dalam kelas hanya memberi salam seperti
“hati-hati”.
Begitu
leganya aku tidak mengikuti futsal secara paksa, karena aku ada urusan lebih
penting daripada ikutan futsal. Urusan penting, demi membuang seluruh beban
menumpuk di otak akibat menyerap seluruh materi pelajaran pada hari ini.
Aku
langkahkan kedua kaki melewati pintu begitu kutaruh ponsel di saku celana. Aku
berbelok melewati selasar untuk keluar dari sekolah. Begitu kutatap sekitar,
beberapa siswa sepertiku telah membawa tas dan berjalan meninggalkan kelas
masing-masing.
Ada pula
beberapa siswa yang masih tetap berada di dalam kelas hanya sekadar hangout. Ada juga yang pergi ke kantin
karena malas untuk pulang lebih awal.
Sialan,
kenapa remaja zaman now telah
tersusupi apel busuk? Stereotip-stereotip yang diajarkan melalui media manapun.
Urusan remaja bukan hanya struggling untuk
belajar, tetapi lebih parahnya … demi mencari cinta, mencari pacar, itu yang
aku tidak suka, salah satunya.
Ah ….
Lebih baik aku jadi diriku sendiri, diriku apa adanya, seorang remaja yang
menyukai game.
Comments
Post a Comment